MUI Bahas Empat Fatwa tentang Zakat

Catatan Akhir Tahun Zakat

Kerja Komisi Fatwa MUI harus didukung Baznas

JAKARTA — Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar konsinyering dan pleno terkait zakat, belum lama ini. Dalam forum tersebut dibahas empat fatwa mengenai zakat.

“Pertama, membahas fatwa tentang zakat atas barang yang digadaikan,” kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Miftahul Huda kepada Republika, akhir pekan lalu.

Menurut dia, ada beberapa pertanyaan dari masyarakat terkait status barang yang digadaikan. Apakah barang yang digadaikan itu wajib dizakati atau tidak. “Ditetapkan bahwa barang yang digadaikan secara kepemilikan masih menjadi hak milik orang yang menggadaikan. Harta yang digadaikan tetap ada kewajiban zakat jika termasuk harta yang dikeluarkan zakat atau harta zakat,” kata dia.

Harta yang digadaikan tetap ada kewajiban zakat jika termasuk harta yang dikeluarkan zakat atau harta zakat

KH MIFTAHUL HUDA Sekretaris Komisi Fatwa MUI

Ia menerangkan, kalau barang yang digadaikan tidak wajib dizakati, maka tidak perlu mengeluarkan zakat. Meski nilai barangnya besar seperti kepemilikan tanah yang tidak digunakan untuk investasi, itu tidak wajib dizakati. Jadi, gadai atas surat kepemilikan tanah itu tidak menjadikannya wajib zakat.

“Yang wajib dizakati jika harta yang digadaikan adalah harta zakat. Seperti emas, perak atau sertifikat atas ruko. Meskipun berupa tanah dan ruko tapi ada investasinya di situ,” katanya.

Kemudian, fatwa kedua yang dibahas yakni tentang pemanfaatan zakat untuk penanggulangan bencana dan dampaknya. Ada pertanyaan dari lembaga amil zakat (LAZ) apakah boleh dana zakat digunakan untuk penanggulangan bencana dan dampaknya.

“Hasilnya kemarin boleh digunakan zakat untuk penanggulangan bencana, bahkan untuk pencegahan bencana juga boleh jika persyaratannya yakni penerima (zakat) itu termasuk mustahik, itu yang diberikan langsung,” jelas Kiai Miftahul.

Ia menambahkan, kalau dana zakat yang diberikan untuk kemaslahatan umum, itu dimasukkan dalam golongan asnaf sabilillah, seperti untuk sosialisasi tanggap bencana, pembangunan sarana dan prasarana untuk mitigasi bencana, seperti membuat parit di Gunung Merapi. Itu dana zakat digunakan untuk golongan sabilillah karena untuk kemaslahatan umum.

Adapun fatwa ketiga yakni mengenai zakat fitrah. Menurut dia, masih ada yang mempertanyakan, apakah boleh zakat fitrah menggunakan uang atau selain bahan makanan pokok. Ia menerangkan, pada dasarnya zakat fitrah dibayar dengan menggunakan makanan pokok. “Tapi dibolehkan muzaki bayar zakat fitrah dalam bentuk uang, nilainya seharga jenis beras yang biasa dikonsumsi oleh si muzaki setiap harinya,” kata Kiai Miftahul.

Tapi dibolehkan muzaki bayar zakat fitrah dalam bentuk uang, nilainya seharga jenis beras yang biasa dikonsumsi oleh si muzaki setiap harinya

KH MIFTAHUL HUDA Sekretaris Komisi Fatwa MUI

Jika muzaki tersebut mengonsumsi beras premium yang harganya mahal, maka zakatnya harus disesuaikan dengan harga beras premium yang dikonsumsinya, jangan disamakan dengan harga beras biasa. Juga harus sesuai dengan harga beras di daerah si muzaki, karena setiap daerah beda-beda harga berasnya.

Ia mengatakan, kalau muzaki menitipkan uang zakat kepada panitia, kemudian panitia membeli beras atau makanan pokok untuk masyarakat setempat, maka pendistribusiannya oleh panitia penerima zakat paling telat sebelum matahari terbenam di hari pertama bulan Syawal.

Sedangkan fatwa keempat yakni tentang penyaluran zakat dengan model pinjaman. Namun, menurut Kiai Miftahul, pembahasan fatwa keempat ini belum selesai dan belum disepakati fatwanya.

Terkait pembahasan fatwa tentang zakat ini, Wakil Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Dr M Nadratuzzaman Hosen mengatakan, kerja Komisi Fatwa MUI harus didukung Baznas.

“Saya lebih dari tiga kali memohon ada kerja sama yang konkret antara Baznas dan MUI, tidak hanya di pusat tapi di seluruh Indonesia. Forum ini merupakan kesempatan untuk mewujudkan dan memantapkannya,” ujar dia melalui laman resmi MUI.

Sumber : https://www.republika.id/posts/33638/mui-bahas-empat-fatwa-tentang-zakat