Putusan otoritas atau regulator seperti Dewan Standar Akuntansi Syariah dan Komisi Fatwa MUI menjadi rujukan.
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamualaikum wr wb
Apakah perusahaan kelapa sawit itu wajib zakat atau tidak? Bagaimana ketentuan nisab dan tarifnya? Bagaimana cara mengeluarkan zakatnya? Mohon penjelasan, Ustaz. — Hendrawan, Samarinda
Waalaikumussalam wr wb
Perusahaan kelapa sawit wajib zakat selama sahamnya halal, dimiliki oleh Muslim, bukan aset wakaf atau aset tidak wajib zakat lainnya, laba perusahaan dalam setahun mencapai minimum senilai 85 gram emas, dan ditunaikan 2,5 persen. Penjelasan detailnya bisa dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, jika yang dimaksud dengan perusahaan kelapa sawit itu saham perusahaan, ketentuan zakatnya merujuk pada zakat perusahaan atau saham dan bukan zakat pertanian. Sebab, saham yang menjadi modal perusahaan merupakan objek zakat. Secara kebetulan juga, pertanian kelapa sawit atau perkebunan kelapa sawit menjadi usaha perusahaan.
Kedua, perusahaan kelapa sawit menjadi wajib zakat saat memenuhi kriteria wajib zakat berikut. (a) Inti aktivitas perusahaan itu halal dan legal. (b) Memenuhi kriteria aset-aset wajib zakat, di antaranya dimiliki oleh Muslim. Oleh karena itu, saat ada saham yang tidak wajib zakat, seperti saham negara, saham wakaf, saham lembaga sosial, dan saham milik non-Muslim itu tidak wajib zakat dan dikeluarkan dari aset wajib zakat. (c) Laba perusahaan mencapai minimal nisab senilai 85 gram emas. Jika diasumsikan, misalnya, 85 gram emas itu senilai Rp 80 juta, maka saat keuntungan perusahaan mencapai Rp 80 juta itu sudah wajib zakat.
Keempat, ada perbedaan pendapat para ulama tentang nisab dan tarif zakat perusahaan, yaitu (a) jika perusahaannya adalah perdagangan maka yang menjadi objek zakat adalah 2,5 persen dari saham dan dividennya. Namun, jika perusahaan produksi, 2,5 persen dari dividennya saja. Hal itu sebagaimana ditegaskan Abdurrahman Isa.
(b) Senilai 2,5 persen dari saham dan dividennya untuk seluruh jenis perusahaan, baik perdagangan maupun produksi. Hal itu sebagaimana dijelaskan Khalaf, Abu Zahrah, dan al-Qardhawi. (c) Jika perusahaannya adalah perdagangan maka 2,5 persen itu dari saham dan dividennya. Namun, jika perusahaan produksi atau jasa maka 10 persen dari dividennya, seperti zakat pertanian sebagaimana ditegaskan Abu Zahrah (Hasan Abdullah Al-Amin, Zakat Al-Ashum Fi asy-Syarikat/IRTI IDB).
Kelima, bisnis perusahaan itu wajib dikeluarkan zakatnya karena (a) memenuhi kriteria an-nama’ (harta yang berkembang) sebagai salah satu kriteria wajib zakat. (b) Perusahaan adalah entitas hukum (syakhsiyah maknawiyah) yang memiliki hak dan kewajiban, layaknya individu sebagaimana peraturan perundang-undangan dan kelaziman. (c) Hal ini juga sesuai dengan maqashid syariah (hifdzul maal bi’tibar al-wujud) karena membuka keran donasi sehingga membantu para fakir dan dhuafa serta memberdayakan mereka.
(d) Sebagaimana kaidah tentang syakhsiyah ma’nawiyah atau al-milkiyah dan al-khultah (yaitu perusahaan dengan pemilik saham yang berbeda itu dikategorikan satu entitas layaknya personal) sebagaimana berlaku dalam zakat ternak. (e) Sebagaimana Keputusan Lembaga Fikih OKI Nomor 28 (3/4) tentang zakat saham perusahaan, Muktamar Internasional I tentang Zakat (29 Rajab 1404 H), UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, dan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 52 tahun 2014.
Keenam, manajemen perusahaan atas nama pemilik saham mengeluarkan zakat para pemilik saham. Di antara contohnya, keputusan RUPS salah satu bank syariah yang menyetujui perusahan untuk melakukan pembayaran zakatnya sebesar 2,5 persen dari laba perusahaan.
Jika perusahaan sudah menunaikan zakatnya, para pemilik saham tidak berkewajiban menunaikan zakat atas dividen yang diterimanya. Namun, jika perusahaan belum atau tidak menunaikan zakatnya, pemilik saham berkewajiban menunaikan zakat atas dividen yang diterimanya selama memenuhi kriteria wajib zakat.
Di tengah perbedaan pandangan fikih mengenai model penghitungan zakat perusahaan, maka saat ada putusan dari otoritas atau regulator seperti Dewan Standar Akuntansi Syariah dan Komisi Fatwa MUI, putusan tersebut menjadi rujukan.
Wallahu a’lam.
Sumber : https://www.republika.id/posts/33084/zakat-perusahaan-kelapa-sawit